Lepas
Dzuhur di Kemchicks Café, kawasan Kemang. Hanya 1 – 2 kursi saja yang
kosong. Sebagian pengunjung sedang menikmati makan siang dengan menu
masing-masing. Kami : Oom Bob Sadino, pak Marlock dan saya, duduk di
meja favorit kami bersama, di depan bar. Oom, seperti biasa, duduk
menghadap pintu masuk. Menu istimewa saya sesuai pesanan Oom, tak pernah
berubah. Tenderloin medium well with frenchfries. ‘Aku minta satu dua
potong aja, Jay.’
Pintu kaca Kemchicks dibuka seseorang. Seorang perempuan muda muncul
dari balik pintu, diikuti oleh seorang perempuan yang lebih tua. Pasti
ibunya, pikir saya. Saya lihat Oom melambaikan tangan ke arah dua
perempuan anak-beranak itu. Senyum mengembang di bibirnya. Kedua orang
yang awalnya hendak bergerak menuju rak-rak aneka produk, kemudian
membelokkan langkahnya ke arah Oom.
Oom bangkit dari kursi, mengulurkan tangannya kepada kedua tamu
Kemchicks yang baru datang, lalu cipika-cipiki. Ngooook! Si ibu
menanyakan kabar dan kesehatan Oom. Akrab sekali. Dilanjutkan dengan
basa-basi sejenak, kedua tamu itu diperkenalkan kepada kami sebelum
melangkah menuju ruang belanja. Ahaaaai, cuma salaman doang …
Oom duduk kembali, dan saya bertanya.
‘Siapa Oom?’
“Nggak tahu,’ jawab Oom sambil menggelengkan kepalanya.
Gantian saya yang menggelengkan kepala. Bagaimana mungkin orang yang
nggak kenal, bisa akrab bicara, bahkan sampai cipika-cipiki. Tapi
belakangan saya tahu persis, begitulah adanya. Oom memang orang yang
mudah akrab, dengan siapa saja. Bagi saya, Oom adalah the man who never
meet strangers.
Bisa jadi, kemampuan komunikasinya itulah yang membuat pelanggan
Kemchiks datang dan datang lagi, tak bisa pindah ke lain toko. Belum
pernah saya melihat pemilik Gelael, Hero, Alfa, Indomaret atau
minimarket lain yang menyambut dengan ramah kehadiran para
pelanggannya. Tapi di Kemchiks, hal seperti itu saya jumpai setiap kali
saya ke sana.
Dan, beliau bisa bicara dalam banyak bahasa. Bukan cuma bahasa
asing, tapi juga bahasa daerah. Oom lancar bicara bahasa Inggris,
Belanda, Perancis, Mandarin, Korea dan Jepang. Sayangnya saya tidak
pernah dengar beliau bicara bahasa Arab. Beberapa bahasa daerah juga
dikuasainya, seperti bahasa Padang, Jawa, Sunda dan Bali. Waktu di
Pontianak, saya sempat dengar beliau lontarkan beberapa kosa kata bahasa
Dayak. Karena Oom tahu saya orang Betawi, beliau juga enak sekali
bicara Lu – Gue dengan saya.
* * * * *
Sekitar 18 tahunan saya mengenal Oom Bob. Dari tidak kenal, lalu
berkenalan di sebuah seminar dalam perkenalan yang tidak umum. Saat
seminar saya bertanya soal apa yang harus dilakukan oleh sarjana
peternakan yang mau mulai usaha? Jawabannya bukan nasehat, tapi sebuah
kata yang menggelegar bagai petir di siang bolong. ‘Goblok!’
‘Ilmunya kamu punya, tapi prakteknya lebih banyak yang saya
lakukan!’ Itu jawaban sang Legenda, Oom Bob Sadino. Sederhana, tapi
dalam menusuk sampai ke dasar hati. Kata orang sekarang, sakitnya tuh
di sini …
Beliau tahu persis kepada siapa satu kata itu diarahkan.
Bertahun-tahun mendampingi beliau dalam banyak seminar, saya jadi
sedikit tahu salah satu kriteria orang yang pantas dapat ucapan itu :
orang yang banyak pengetahuan tapi sedikit bertindak!
Siangnya, kami makan bersama. Dan perkenalan pun berlanjut, sampai
kami dekat bukan hanya secara pribadi, tapi juga melibatkan keluarga.
Setelah saya menulis buku ‘Monyet Aja Bisa Cari Duit’ tahun 2009, Oom
lebih suka menyapa saya dengan ‘Nyet’ daripada nama saya. Almarhumah
tante, lebih sering menanyakan kabar istri saya dengan ‘bu monyet
kemana?’
* * * * *
Satu hal yang sering dititip-tanyakan teman-teman saya di Dompet
Dhuafa, adalah soal yang berkaitan dengan celana buntung dan hem tanpa
lengan yang menjadi pakaian kebangsaan Oom. Dengan pakaian seperti itu,
memunculkan persepsi bahwa oom bukanlah orang yang religius. ‘Wong
pakaiannya saja mengumbar aurat!’
Kedekatan yang cukup lama, mendampingi Oom di dalam dan luar negeri,
membuat saya menyimpulkan, bahwa Oom memang berkehendak dipersepsi
seperti itu. Beberapa kali saat di kamar hotel di luar kota, saya
‘pergoki’ beliau sedang shalat, dengan caranya sendiri. Pakai sarung,
duduk di kursi dan shalat dengan isyarat.
* * * * *
Sejak tante meninggal dunia pertengahan Ramadhan 2014, kondisi
kesehatan Oom menurun drastis, walau tidak ada penyakit spesifik.
Beberapa kali Oom keluar masuk rumah sakit. Senin dini hari, jam 01.20
19 Januari 2015, sebuah SMS masuk ke ponsel saya. Oom kritis di RSPI.
Denyut jantungnya melemah.
Lantunan surat Yaa Siin yang dibaca beberapa orang yang menunggui
terdengar pelan. Agaknya, malaikat maut sudah harus menjalankan
tugasnya. Menjelang masuk waktu Maghrib, di redupnya langit Jakarta,
Oom menghembuskan nafas terakhir. Pelan. Tenang. Di antara orang-orang
tercintanya, Oom pergi menghadap sang Pencipta. Isak tangis pun pecah
di ruangan perawatan di RSPI. Saya tulis sebuah SMS ke istri saya : Oom
sudah berangkat …
Selamat jalan, our mentor, The Legend, Bob Sadino. Semoga Ilmu yang
Oom ajarkan, menjadi pemberat timbangan akal kebajikan, seperti tasbih
yang tidak pernah berhenti berhitung …
(Dimuat di Koran Sindo, 22 Januari 2015); Source/Sumber:
Disini